Minggu, 12 Mei 2013

Dra. ASMIDA, M. Pd; Perlunya Memupuk Rasa Tanggung Jawab Sejak Kecil (Usia Dini)



Perlunya Memupuk Rasa Tanggung Jawab Sejak Kecil (Usia Dini)
Oleh:
Dra. ASMIDA, M. Pd[1]

DSCF2049.JPGMelihat berbagai fenomena masyarakat akhir-akhir ini, yang cendrung membuat pembenaran atau  menyatakan diri benar, serta memaksakan kebenaran tersebut pada orang lain dengan berbagai cara, rupenye juge tak luput dari pengamatan bu wiwik maupun pak edwin, yang penulis tangkap secara tidak langsung dalam pembicaraan singkat beberape saat disela waktu senggang beberape waktu lalu. Hal tersebut membuat penulis bertanya tanya dan berandai andai berbagai penyebab dari fenomena yang semakin marak di negara ini.
Kejadian tersebut pernah pak edwin tanyekan dengan penulis lebih tepatnye diskusi singkat sambil menunggu kawan-kawan selesai isoma yang tinggal beberape menit, hari itu cuaca sangat panas dan benar-benar tidak bersahabat dikota panas 9 April 2013, yang semakin panas.
Beberape hal yang kami diskusikan diantarenye tentang hiruk pikuknye beragam berita yang terus diulang-ulang tanpa solusi, sehingga menjadi suatu pendidikan politik yang akhirnya menurut hemat penulis akan menjadi politik pendidikan. Namun yang mengherankan begitu banyak fenomena yang terjadi tidak mampu secara umum disikapi oleh berbagai kalangan masyarakat apapun kelasnya dengan bijaksana, mereka seperti hilang kendali cendrung menyalahkan orang lain tanpa koreksi. Mungkin salah satu penyebabnya menurut pengamatan penulis adalah kurangnya pembelajaran bertanggung jawab sejak kecil yang ditanamkan pendidik khususnya orang tua, yang mungkin tanpa mereka sadari telah menanamkan pembelajaran awal kepada anak, untuk cendrung menyalahkan orang lain. Kite seakan tidak mampu belajar dari berbagai pengalaman.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Kalimat ini selalu kita dengar, dan tidak asing dipendengaran kita,  namun sayang kalimat tersebut tak mampu kita cermati untuk bergerak ke masa depan untuk mengambil yang positifnya. Pengalaman yang kita peroleh baik dari diri sendiri maupun dari hasil pengamatan dari orang lain tidak pernah benar - benar kite pahami untuk mengambil hal yang terbaik.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Drs. Sudarsono, SH., M.Si, yang menyatekan pengalaman merupakan keseluruhan atau totalitas segala pengamatan, yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau[2].
Penulis ingin mengambil beberapa contoh, yang sering terjadi disekeliling kite dan hampir turun temurun berbagai generasi, yang mungkin pernah kite alami, berikut beberape contoh kecil yang salah satunya seperti yang dikemukakan oleh pak edwin yang penulis rangkum seperti kalimat berikut,“ saat anak terantuk kursi atau meja saat berlarian dalam proses bermainnya, orang tua cendrung mengatakan ”ooo kursi ni jahat, pukul kursi”, kursi yang disalahkan padahal orang tua atau keluarga tau bahwa sianak tidak berhati-hati, begitu pula sianak mengetahui dia yang melanggar kursi. Apalah salahnya dibilang hati-hati jadi masa akan datang anak lebih waspada saat bermain dalam kondisi yang membahayakan, iyakan mbak, begitu biasanya pak edwin memanggil penulis.
Contoh lainnya yang sering kite temui misal saat seorang anak tanpa sadar tibe-tibe tekentut apelagi saat makan, lantas anggota keluarga yang terkejut hampir serentak menyatakan “ lantai tekentut uuuu pukul lantai, semue memukul lantai”, mungkin maksud pendidik (orang tua, kakak, abang, mak cik dsbnya) supaya sianak jangan menangis atau malu dihadapan orang banyak, sehingga diputuskan lebih bagus menyalahkan lantai. Lagi-lagi keputusan yang salah.
Contoh lainnya saat seorang anak yang sedang lasak-lasaknya dengan keinginantahuan yang kuat mengambil minum sendiri seperti biasanya, namun hari itu salah seorang pendidik sangat kuatir (wajar mengingat sianak memakai  gelas kaca), yang dikuatirkan bukan masalah gelas yang takut pecah, tapi lebih pade akibat yang ditimbulkan yaitu terluke tangan dan sebagainye. Namun hal tersebut menyebabkan sianak terlampau kuat memegang gelas kemudian berlari lari dengan membawa gelas yang akhirnya terantuk dan pecah. Melihat kejadian itu sianak menoleh ke pendidik (misal: orang tua) dengan muka terkejut, namun apa yang dia dapat lagi-lagi pendidik menyalahkan gelas, oooo gelas ni jahat….. pukul gelas.  
Beberape contoh diatas merupekan kebiasaan sehari-hari yang menjadi pembiasaan, yang dilakukan pendidik yang tidak menyadari akibat kedepan dari perilaku tersebut, namun seiring dengan perjalanan waktu dan kejadian tersebut terus diulang oleh orang tua khususnye, walau dalam konteks yang berbeda, tanpe disadari sangat berpengaruh pade tindak tanduk atau perilaku seseorang seiring dengan bertambahnya usia.
Tidak bisa dihindari dari kebiasaan masa kanak-kanak, mase yang tidak ade beban, semue disekeliling anak akan menyayangi, menyenangi dan cendrung mengaminkan tingkah polah anak yang lucu menggemeskan. Tingkah polah seorang anak itu rasanya begitu sulit bagi orang terdekat  untuk melarang dalam arti kata mendidik sesuai dengan umur sianak, perilaku sianak yang sudah menjurus ke hal yang tidak baik sejak kecil tidak menutup kemungkinan akan menjadi pembenaran saat mereka besar, mereka tidak tau mana yang salah dan mana yang benar.
Selain hal tersebut, tidak satu katanya pendidik khususnye orang tua menyebabkan sianak terbelah,  contoh sederhana pembelaan ayah terhadap anak, saat dimarah oleh ibu atau sebaliknya pembelaan ibu terhadap anak, saat dimarah oleh ayah, pembelaan nenek terhadap cucunye yang kene marah dan sebagainye.  Pertanyaannya apakah salah ayah membela sianak? Atau apakah salah ibu membela sianak? Atau apakah salah nenek atau kakek membela cucunye? Kite pasti sepakat jawabannya tentu tidak, tapi yang salah menurut hemat penulis adalah caranya.
Hal tersebut bermakna, kalau salah satu orang tua tidak mampu bersikap, buat sementara lebih baik diam, mendengarkan pihak lain bicara. Jangan sampai terjadi kesalahan sianak yang akan dibahas, malahan melebar kemana-mana menjadi pertengkaran orang tua, sianak melenggang bebas tanpa solusi begitu seterusnye, dan ingat hal tersebut pelajaran terbaru dalam otak sianak, untuk mengkotak-kotakkan pendidik.
Contoh berikut dapat dijadikan salah satu ilustrasi, waktu itu beberapa tahun yang lalu, kemenakan penulis hen sedang berlibur kerumah, waktu itu aji kire-kire umur 2 tahun lebih sedang lasak-lasaknye, die sangat aktif berlari disela sela kursi, memanjat, main laptop dan sebagainye, biasalah anak-anak kalau diam aje perlu dipertanyekan kecuali anak mundu[3].  
Entah bagaimane awal ceritenye saat itu penulis sedang membace koran seperti biasenye,  tau-tau sudah terdengar ayah aji marah, tak seperti biase die semarah itu dan si ajipun tegopoh gopoh lari kepelukan penulis, setelah hen kemenakan penulis becakap menegur kesalahan anaknye baru penulis berucap, “ ngape aji tadi mmm, besok jangan buat lagi…” sambil memeluk dan menggoyangkan badannye yang bulat seperti biase.
Pada kesempatan yang lain kadang kadang die terantuk, penulis mengatekan hati-hati…siapelah menyerakkan mainan tadi, sampai terjatuh orang ganteng ni ucap penulis berulang ulang (penulis pura-pura tidak tau), sambil meminggirkan mainan yang berserak, biasenye sambil menghapus air mate, die akan menggapai penulis dan  menunjuk dirinye sendiri.
Contoh diatas merupekan beberape kejadian yang sering pendidik (khususnya orang tua) maupun orang terdekat di lingkungan si anak dalam menghadapi anak yang melakukakan kesalahan, tanpa sengaja kemudian ditanggapi dengan cara yang salah dengan maksud (mungkin) supaya anak jangan malu, atau menangis, akhirnya menjadi pembiasaan pada sianak untuk cendrung menyalahkan orang lain atas perbuatannye sendiri dalam pepatah melayu dikatekan “lempar batu sembunyi tangan”. Kejadian demi kejadian tersebut akan terekam pada long term memorynya, yaitu membenarkan yang salah atau tidak apa-apa kalau berbuat salah karena ade orang lain yang akan disalahkan.
Pembiasaan pada sianak tersebut berkemungkinan besar berlanjut hingga sianak remaja, hingga dewasa saat mereka menjadi bahagian dari sistem di masyarakat dan selamanya mereka tidak terbiasa berpikir, seperti pepatah orang-orang tua dulu “ alah bisa karena biasa” kemudian ditambah lingkungan yang mendukung, mengakibatkan hal tersebut menjadikan suatu pembenaran. Dengan demikian jangan heran berbagai permasalahan yang tidak pakai henti dan tidak mampu disikapi secara arif, tidak bisa dilepaskan dari berbagai contoh kasus yang nampaknya sederhana  diatas.
Gambaran diatas sangat sesuai dengan pepatah orang melayu yang mengatekan “dari kecik teranjak anjak, sudah besar tebawak-bawak, sudah tue berubah tidak”. Pepatah tersebut menurut penulis menggambarkan perilaku seseorang yang sudah terbiasa tidak diajarkan bertanggung jawab sejak kecil, dibiarkan saja kalau berbuat salah dengan berbagai alasan oleh pendidik, yang akhirnye akan menjadi masalah saat die mulai tumbuh besar, yang mula-mula merusak tatanan mikro kemudian tidak menutup kemungkin akan terbawa ke tatanan makro yaitu masyarakat dalam tatanan luas. 
Berikut penulis ingin menyajikan intisari salah satu dongeng (judulnye penulis sudah lupe), yang dibacakan ayah penulis (alm) H. Raja Muda Depang dan mak penulis (almh) Hjh. Tengku Sribanun,  puluhan tahun yang lalu sebagai pengantar tidur, saat penulis kecil dulu di Selat Panjang, berikut intisari nye yang cube penulis ingat, mudah-mudahan bisa jadi pembelajaran bagi kite:   
Suatu hari dikisahkan ade seorang anak yang semue kehendaknye diturutkan oleh orang tue, semakin sianak besar kebutuhannye tidak mampu dipenuhi lagi oleh orang tue. Sianak mulai melakukan tindak kejahatan kecil-kecilan, mula-mula dia mencuri yang kecil seperti korek api, rokok namun orang tue membiarkan atau memaafkan. Kemudian berlanjut bertahun-tahun sampai yang besar, sampai akhirnye pihak kepolisian sudah mencium kejadian tersebut.
Suatu hari dikisahkan setelah aksi kejar-kejaran, die tercebur kedalam sungai, kemudian tertangkap oleh polisi, saat dia akan dibawa kekantor polisi, die memohon agar di jumpekan dengan ayahnye, polisipun mengabulkannye dengan pengawalan ketat. Setelah sampai dirumah dengan tangan yang diborgol sianak langsung mendekati ayahnye yang terkejut seakan tidak percaye, kemudian sianak menggigit telinge sang ayah sambil berkate, “itulah ayah, tidak pernah mendidik aku dari kecil”, kemudian polisi membawe die ketahanan untuk mempertanggung jawabkan kesalahannnye.

Sekianlah
Pekanbaru, 9 April 2013 s.d 12 Mei 2013



[1] Biodata Singkat. Dra. ASMIDA, M. Pd adalah Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta; S-1 bidang Pendidikan Matematika, FKIP UNRI, 1988; S-2 bidang Pendidikan Matematika, UPI Bandung, 2009; Sekarang bertugas sebagai Staf Bidang Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru; Pemilik dan Pendiri L2PTS; Hobbi menulis cerpen dan dongeng dimulai sejak tinggal di Bandung, disedikit waktu senggang yang dimilki diantara kesibukan sebagai mahasiswa tugas belajar Magister Bidang Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Kumpulan cerpen dengan cover “Sepetang Hatiku” dan beberape dongeng diantaranya “Kucing dan Harimau”, “Kancil dan anak Harimau”, “Pak Handi dan Mak Handi” sudah di publikasikan di http://l2pts.blogspot.com. Selain menulis cerpen dan dongeng, penulis juga menulis al: “Modul Integral Untuk Anak Paket C” sejak tahun 2009 akhir dan selesai tahun 2012, dimana modul ini  merupakan edisi revisi dari beberapa modul Matematika dan Integral yang ditulis sewaktu penulis masih menjadi pendidik, salah satu sub sudah di publikasikan di http://l2pts.blogspot.com dan http://learningcenterasmida.blogspot.com. Terbaru sejak tahun 2010 sampai tahun 2012, menulis buku untuk Kelompok Bermain Salah satu sub buku sudah di publikasikan di http://l2pts.blogspot.com/2012/06/dra-asmida-m-pd-matematika-sebagai-ilmu.html; Selain itu juga menulis artikel lepas, kumpulan artikel dengan cover “ Pekanbaru Menuju Kota 2 M?” sudah dipublikasikan secara terpisah di http://l2pts.blogspot.com; Hobbi lainnya al: fhotografi, menggambar abstrak, seni ukir, traveling, mendengarkan musik. Tahun 2013 aktifitas lainnya selain menulis cerpen, artikel lepas serta hobi lainnya, juga menulis materi tentang Irisan Bidang dengan Bangun Ruang, yang merupakan revisi dari modul sebelumnya, beberape bahagian sudah di publikasikan di  http://learningcenterasmida.blogspot.com.
 
[2] Drs. Sudarsono, SH., M.Si, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 140.
[3] Mundu istilah alm makku Hj. Tengku Sribanun menyebutkan kundu atau kundur sejenis sayuran yang diam tak bergerak disudut dapur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar