Perlunya Memupuk Rasa Tanggung Jawab
Sejak Kecil (Usia Dini)
Oleh:
Dra. ASMIDA, M. Pd[1]
Melihat
berbagai fenomena masyarakat akhir-akhir ini, yang cendrung membuat pembenaran
atau menyatakan diri benar, serta
memaksakan kebenaran tersebut pada orang lain dengan berbagai cara, rupenye
juge tak luput dari pengamatan bu wiwik maupun pak edwin, yang penulis tangkap
secara tidak langsung dalam pembicaraan singkat beberape saat disela waktu
senggang beberape waktu lalu. Hal tersebut membuat penulis bertanya tanya dan
berandai andai berbagai penyebab dari fenomena yang semakin marak di negara
ini.
Kejadian
tersebut pernah pak edwin tanyekan dengan penulis lebih tepatnye diskusi
singkat sambil menunggu kawan-kawan selesai isoma yang tinggal beberape menit, hari
itu cuaca sangat panas dan benar-benar tidak bersahabat dikota panas 9 April
2013, yang semakin panas.
Beberape
hal yang kami diskusikan diantarenye tentang hiruk pikuknye beragam berita yang
terus diulang-ulang tanpa solusi, sehingga menjadi suatu pendidikan politik
yang akhirnya menurut hemat penulis akan menjadi politik pendidikan. Namun yang
mengherankan begitu banyak fenomena yang terjadi tidak mampu secara umum disikapi
oleh berbagai kalangan masyarakat apapun kelasnya dengan bijaksana, mereka seperti
hilang kendali cendrung menyalahkan orang lain tanpa koreksi. Mungkin salah
satu penyebabnya menurut pengamatan penulis adalah kurangnya pembelajaran
bertanggung jawab sejak kecil yang ditanamkan pendidik khususnya orang tua, yang
mungkin tanpa mereka sadari telah menanamkan pembelajaran awal kepada anak,
untuk cendrung menyalahkan orang lain. Kite seakan tidak mampu belajar dari
berbagai pengalaman.
Pengalaman
adalah guru yang terbaik. Kalimat ini selalu kita dengar, dan tidak asing
dipendengaran kita, namun sayang kalimat
tersebut tak mampu kita cermati untuk bergerak ke masa depan untuk mengambil
yang positifnya. Pengalaman yang kita peroleh baik dari diri sendiri maupun
dari hasil pengamatan dari orang lain tidak pernah benar - benar kite pahami untuk
mengambil hal yang terbaik.
Hal
tersebut senada dengan yang diungkapkan Drs. Sudarsono, SH., M.Si, yang
menyatekan pengalaman merupakan keseluruhan atau totalitas segala pengamatan,
yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan
masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau[2].
Penulis
ingin mengambil beberapa contoh, yang sering terjadi disekeliling kite dan
hampir turun temurun berbagai generasi, yang mungkin pernah kite alami, berikut
beberape contoh kecil yang salah satunya seperti yang dikemukakan oleh pak edwin
yang penulis rangkum seperti kalimat berikut,“ saat anak terantuk kursi atau
meja saat berlarian dalam proses bermainnya, orang tua cendrung mengatakan ”ooo
kursi ni jahat, pukul kursi”, kursi yang disalahkan padahal orang tua atau
keluarga tau bahwa sianak tidak berhati-hati, begitu pula sianak mengetahui dia
yang melanggar kursi. Apalah salahnya dibilang hati-hati jadi masa akan datang
anak lebih waspada saat bermain dalam kondisi yang membahayakan, iyakan mbak,
begitu biasanya pak edwin memanggil penulis.
Contoh
lainnya yang sering kite temui misal saat seorang anak tanpa sadar tibe-tibe
tekentut apelagi saat makan, lantas anggota keluarga yang terkejut hampir
serentak menyatakan “ lantai tekentut uuuu pukul lantai, semue memukul lantai”,
mungkin maksud pendidik (orang tua, kakak, abang, mak cik dsbnya) supaya sianak
jangan menangis atau malu dihadapan orang banyak, sehingga diputuskan lebih
bagus menyalahkan lantai. Lagi-lagi keputusan yang salah.
Contoh
lainnya saat seorang anak yang sedang lasak-lasaknya dengan keinginantahuan
yang kuat mengambil minum sendiri seperti biasanya, namun hari itu salah
seorang pendidik sangat kuatir (wajar mengingat sianak memakai gelas kaca), yang dikuatirkan bukan masalah
gelas yang takut pecah, tapi lebih pade akibat yang ditimbulkan yaitu terluke
tangan dan sebagainye. Namun hal tersebut menyebabkan sianak terlampau kuat memegang
gelas kemudian berlari lari dengan membawa gelas yang akhirnya terantuk dan
pecah. Melihat kejadian itu sianak menoleh ke pendidik (misal: orang tua)
dengan muka terkejut, namun apa yang dia dapat lagi-lagi pendidik menyalahkan gelas,
oooo gelas ni jahat….. pukul gelas.
Beberape
contoh diatas merupekan kebiasaan sehari-hari yang menjadi pembiasaan, yang
dilakukan pendidik yang tidak menyadari akibat kedepan dari perilaku tersebut,
namun seiring dengan perjalanan waktu dan kejadian tersebut terus diulang oleh
orang tua khususnye, walau dalam konteks yang berbeda, tanpe disadari sangat
berpengaruh pade tindak tanduk atau perilaku seseorang seiring dengan
bertambahnya usia.
Tidak
bisa dihindari dari kebiasaan masa kanak-kanak, mase yang tidak ade beban, semue
disekeliling anak akan menyayangi, menyenangi dan cendrung mengaminkan tingkah
polah anak yang lucu menggemeskan. Tingkah polah seorang anak itu rasanya begitu
sulit bagi orang terdekat untuk melarang
dalam arti kata mendidik sesuai dengan umur sianak, perilaku sianak yang sudah
menjurus ke hal yang tidak baik sejak kecil tidak menutup kemungkinan akan
menjadi pembenaran saat mereka besar, mereka tidak tau mana yang salah dan mana
yang benar.
Selain
hal tersebut, tidak satu katanya pendidik khususnye orang tua menyebabkan
sianak terbelah, contoh sederhana pembelaan
ayah terhadap anak, saat dimarah oleh ibu atau sebaliknya pembelaan ibu
terhadap anak, saat dimarah oleh ayah, pembelaan nenek terhadap cucunye yang
kene marah dan sebagainye. Pertanyaannya
apakah salah ayah membela sianak? Atau apakah salah ibu membela sianak? Atau
apakah salah nenek atau kakek membela cucunye? Kite pasti sepakat jawabannya tentu
tidak, tapi yang salah menurut hemat penulis adalah caranya.
Hal
tersebut bermakna, kalau salah satu orang tua tidak mampu bersikap, buat
sementara lebih baik diam, mendengarkan pihak lain bicara. Jangan sampai
terjadi kesalahan sianak yang akan dibahas, malahan melebar kemana-mana menjadi
pertengkaran orang tua, sianak melenggang bebas tanpa solusi begitu seterusnye,
dan ingat hal tersebut pelajaran terbaru dalam otak sianak, untuk
mengkotak-kotakkan pendidik.
Contoh
berikut dapat dijadikan salah satu ilustrasi, waktu itu beberapa tahun yang
lalu, kemenakan penulis hen sedang berlibur kerumah, waktu itu aji kire-kire
umur 2 tahun lebih sedang lasak-lasaknye, die sangat aktif berlari disela sela
kursi, memanjat, main laptop dan sebagainye, biasalah anak-anak kalau diam aje
perlu dipertanyekan kecuali anak mundu[3].
Entah
bagaimane awal ceritenye saat itu penulis sedang membace koran seperti biasenye,
tau-tau sudah terdengar ayah aji marah,
tak seperti biase die semarah itu dan si ajipun tegopoh gopoh lari kepelukan penulis,
setelah hen kemenakan penulis becakap menegur kesalahan anaknye baru penulis
berucap, “ ngape aji tadi mmm, besok jangan buat lagi…” sambil memeluk dan menggoyangkan
badannye yang bulat seperti biase.
Pada
kesempatan yang lain kadang kadang die terantuk, penulis mengatekan hati-hati…siapelah
menyerakkan mainan tadi, sampai terjatuh orang ganteng ni ucap penulis berulang
ulang (penulis pura-pura tidak tau), sambil meminggirkan mainan yang berserak,
biasenye sambil menghapus air mate, die akan menggapai penulis dan menunjuk dirinye sendiri.
Contoh
diatas merupekan beberape kejadian yang sering pendidik (khususnya orang tua)
maupun orang terdekat di lingkungan si anak dalam menghadapi anak yang
melakukakan kesalahan, tanpa sengaja kemudian ditanggapi dengan cara yang salah
dengan maksud (mungkin) supaya anak jangan malu, atau menangis, akhirnya
menjadi pembiasaan pada sianak untuk cendrung menyalahkan orang lain atas
perbuatannye sendiri dalam pepatah melayu dikatekan “lempar batu sembunyi
tangan”. Kejadian demi kejadian tersebut akan terekam pada long term memorynya,
yaitu membenarkan yang salah atau tidak apa-apa kalau berbuat salah karena ade
orang lain yang akan disalahkan.
Pembiasaan
pada sianak tersebut berkemungkinan besar berlanjut hingga sianak remaja, hingga
dewasa saat mereka menjadi bahagian dari sistem di masyarakat dan selamanya mereka
tidak terbiasa berpikir, seperti pepatah orang-orang tua dulu “ alah bisa
karena biasa” kemudian ditambah lingkungan yang mendukung, mengakibatkan hal
tersebut menjadikan suatu pembenaran. Dengan demikian jangan heran berbagai permasalahan
yang tidak pakai henti dan tidak mampu disikapi secara arif, tidak bisa
dilepaskan dari berbagai contoh kasus yang nampaknya sederhana diatas.
Gambaran
diatas sangat sesuai dengan pepatah orang melayu yang mengatekan “dari kecik
teranjak anjak, sudah besar tebawak-bawak, sudah tue berubah tidak”. Pepatah
tersebut menurut penulis menggambarkan perilaku seseorang yang sudah terbiasa tidak
diajarkan bertanggung jawab sejak kecil, dibiarkan saja kalau berbuat salah dengan
berbagai alasan oleh pendidik, yang akhirnye akan menjadi masalah saat die
mulai tumbuh besar, yang mula-mula merusak tatanan mikro kemudian tidak menutup
kemungkin akan terbawa ke tatanan makro yaitu masyarakat dalam tatanan
luas.
Berikut
penulis ingin menyajikan intisari salah satu dongeng (judulnye penulis sudah
lupe), yang dibacakan ayah penulis (alm) H. Raja Muda Depang dan mak penulis (almh)
Hjh. Tengku Sribanun, puluhan tahun yang
lalu sebagai pengantar tidur, saat penulis kecil dulu di Selat Panjang, berikut
intisari nye yang cube penulis ingat, mudah-mudahan bisa jadi pembelajaran bagi
kite:
Suatu
hari dikisahkan ade seorang anak yang semue kehendaknye diturutkan oleh orang
tue, semakin sianak besar kebutuhannye tidak mampu dipenuhi lagi oleh orang
tue. Sianak mulai melakukan tindak kejahatan kecil-kecilan, mula-mula dia
mencuri yang kecil seperti korek api, rokok namun orang tue membiarkan atau
memaafkan. Kemudian berlanjut bertahun-tahun sampai yang besar, sampai akhirnye
pihak kepolisian sudah mencium kejadian tersebut.
Suatu
hari dikisahkan setelah aksi kejar-kejaran, die tercebur kedalam sungai, kemudian
tertangkap oleh polisi, saat dia akan dibawa kekantor polisi, die memohon agar
di jumpekan dengan ayahnye, polisipun mengabulkannye dengan pengawalan ketat.
Setelah sampai dirumah dengan tangan yang diborgol sianak langsung mendekati
ayahnye yang terkejut seakan tidak percaye, kemudian sianak menggigit telinge
sang ayah sambil berkate, “itulah ayah, tidak pernah mendidik aku dari kecil”,
kemudian polisi membawe die ketahanan untuk mempertanggung jawabkan
kesalahannnye.
Sekianlah
Pekanbaru,
9 April 2013 s.d 12 Mei 2013
[1] Biodata Singkat.
Dra. ASMIDA, M. Pd adalah Kandidat Doktor Manajemen
Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta; S-1 bidang
Pendidikan Matematika, FKIP UNRI, 1988; S-2 bidang Pendidikan Matematika, UPI
Bandung, 2009; Sekarang bertugas sebagai Staf Bidang Pengembangan Pendidikan
Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru; Pemilik dan Pendiri L2PTS; Hobbi
menulis cerpen dan dongeng dimulai sejak tinggal di Bandung, disedikit waktu
senggang yang dimilki diantara kesibukan sebagai mahasiswa tugas belajar
Magister Bidang Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung. Kumpulan cerpen dengan cover “Sepetang
Hatiku” dan beberape dongeng diantaranya “Kucing dan Harimau”, “Kancil dan anak Harimau”, “Pak Handi dan Mak
Handi” sudah di publikasikan di http://l2pts.blogspot.com. Selain
menulis cerpen dan dongeng, penulis juga menulis al: “Modul Integral Untuk Anak Paket C” sejak tahun 2009 akhir dan
selesai tahun 2012, dimana modul ini
merupakan edisi revisi dari beberapa modul Matematika dan Integral yang
ditulis sewaktu penulis masih menjadi pendidik, salah satu sub sudah di
publikasikan di http://l2pts.blogspot.com dan http://learningcenterasmida.blogspot.com. Terbaru sejak tahun 2010 sampai tahun 2012, menulis buku untuk
Kelompok Bermain Salah satu sub buku sudah di publikasikan di http://l2pts.blogspot.com/2012/06/dra-asmida-m-pd-matematika-sebagai-ilmu.html; Selain itu juga menulis artikel lepas, kumpulan artikel dengan cover “ Pekanbaru Menuju Kota 2 M?” sudah
dipublikasikan secara terpisah di http://l2pts.blogspot.com; Hobbi
lainnya al: fhotografi, menggambar abstrak, seni ukir, traveling, mendengarkan
musik. Tahun 2013 aktifitas lainnya selain menulis cerpen, artikel lepas serta
hobi lainnya, juga menulis materi tentang Irisan Bidang dengan Bangun Ruang,
yang merupakan revisi dari modul sebelumnya, beberape bahagian sudah di
publikasikan di http://learningcenterasmida.blogspot.com.
[2] Drs. Sudarsono, SH.,
M.Si, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar
(Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 140.
[3]
Mundu istilah alm makku Hj. Tengku Sribanun menyebutkan kundu atau kundur
sejenis sayuran yang diam tak bergerak disudut dapur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar